Problematika Hadits Maudhu`

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.   Latar Belakang

Hadits merupakan sumber ajaran umat Muslim yang kedua setelah Al-Quran, yang salah satu fungsinya adalah untuk merinci ayat-ayat yang Al-Qur`an yang masih umum. Namun kita tak bisa mengambil suatu kesimpulan hukum dari Hadits tersebut, tanpa memiliki pengetahuan-pengetahuan dasarnya. Karena tak semua Hadits itu “murni” dari Rasulullah sendiri sumbernya. Salah satunya yaitu, dengan mengetahui unsur-unsur apakah yang dapat menjadi landsan bahwa Hadits itu asli ataukah palsu, shahih atu maudhu.

Pada makalah ini, Insyaallah kami akan membahas secara tuntas mengenai Problematika Hadits Maudhu.

  1. B.   Permasalahan
  2. Apakah devinisi dari Hadits Maudhu` ditinjau dari segi bahasa dan istilahnya ?
  3. Bagaimana sejarah munculnya Hadits Maudhu` ?
  4. Bagaimana status hukum dari Hadits Maudhu tersebut ?
  1. C.   Tujuan

Dengan adanya identifikasi seperti diatas maka tujuannya  adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui makna dari kata Maudhu`  pada hakikat yang sebenarnya dari segi bahasa dan istilah.
  2. Untuk mengetahui sejarah yang melatarbelakangi munculnya Hadits Maudhu`
  3. Untuk mengetahui status hukum Hadits Maudhu` (ditinjau dari segala aspek)
  1. D.   Manfa`at

Dengan adanya identifikasi seperti diatas makamanfa`atnya  adalah sebagai berikut :

  1. Dapat mengetahui serta memahami devinisi dari Hadits Maudhu` tersebut
  2. Dapat mengetahui sejarah munculnya Hadits Maudhu`
  3. Dapat memahami status hukum Hadits Maudhu dari segala aspek yang ada.

 BAB II

PEMBAHASAN

PROBLEMATIKA HADITS MAUDHU`

  1. A.   Pengertian hadits maudhu

Secara etimologi kata Maudhu adalah isim maf`ul dari kata wadha`a, yang berarti al-isqath (menggugurkan), al-tark (meninggalkan), aliftira` wa al-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat). Sedangkan secara terminologi, menurut Ibn al-Shalah dan diikuti oleh Al-Nawawi, Hadits Maudhu` berarti:

وهوالمختلق المصنوع

            Yaitu sesuatu (Hadits) yang diciptakan dan dibuat.

Definisi yang lebih rinci dikemukakan oleh M. `Ajjaj al-Khatib, sebagai berikut:

مانسب الى رسول الله صلعم اختلا فا وكذبا مما لم يقله اويفعله او يقره

“Hadits yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya dibuat-buat dan diada-adakan, karena Rasulullah SAW sendiri tidak mengatakannya, memperbuat, maupun menetapkannya.”

Al-Thahhan, mendefinisikannya sebagai berikut:

هوالكذب المختلق المصنوع المنسوب الى رسول الله صلعم

Yaitu kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada Rasulullah SAW.

Hampir senada dengan definisi diatas, Shubhi al-Shalih menyatakan bahwa Hadits Maudhu`,

هوالخبرالذى يختلفه الكذابون و ينسبونه الى رسول الله صلعم افتراءًعليه

Yaitu berita yang diciptakan oleh para pembohong dan kemudian mereka sandarkan kepada Rasulullah SAW, yang sifatnya mengada-ada atas nama beliau.

Dari definisi diatas, terlihat secara sederhana Ibn al-Shalah menyatakan bahwa Hadits Maudhu` itu adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat atas nama Rasul SAW, dan oleh karena itu Hadits Maudhu’ tersebut dalah hadits yang paling buruk satusnya di antara Hadits-Hadits Dha`if, dan karena itu pula tidak dibenarkan dan bahkan haram hukumnya untuk meriwayatkannya dengan alasan apapun kecuali disertai dengan penjelasan tentang ke-maudhu’-annya.

Definisi-definisi diatas juga menjelaskan bahwa Hadits Maudhu’ pada dasarnya adalah kebohongan atau berita yang sengaja diada-adakan yang selanjutnya dinisbahkan oleh pembuatnya kepada Rasulullah SAW, dengan maksud dan tujuan tertentu. Al-Thahhan mengelompokan Hadits Maudhu’ ini kedalam hadits yang Mardud dengan sebab terdapat cacat pada perawinya dalam bentuk melakukan kebohongan terhadap Rasul SAW, dan cacat dalam bentuk ini adalah yang terburuk dalam pandangan Ulama Hadits.

Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adhabi mengemukakan pandangan yang sedikit berbeda dalam  memberikan definisi Hadits Maudhu’, dibandingkan dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan diatas. Menurut Al-Adhabi, kata al-wad’u ( الوضع ) dalam konteks Hadits Nabi SAW mengandung dua pengertian, yaitu :

  1. Semata-mata kebohongan (dusta) yang dilakukan terhadap Nabi SAW, dan,
  2. Kegiatan yang dilakukan secara sengaja serta mempunyai dampak yang luas, dalam bentuk memasukan kebohongan-kebohongan kedalam Hadits-Hadits Nabi SAW.

Pandangan Al-Adhabi yang sedikit berbeda tersebut akan berimplikasi terhadap kesimpulannya  mengenai penentuan masa dimulainya atau munculnya Hadits Maudhu’, sebagaimana yang akan diuraikan pada pasal yang akan datang.

  1. B.   Sejarah dan perkembangan Hadits Maudhu’

Para Ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan Hadits, apakah telah terjadi sejak masa Nabi SAW masih hidup, atau sesudah beliau wafat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah :

  1. Sebagian para ahli berpendapat bahwa pemalsuan Hadits telah terjadi sejak masa Rasulullah SAW masih hidup. Pendapat ini, diantaranya, dikemukakan oleh Ahmad Amin (wafat 1373 H/1954 M).

Argumen yang dikemukakan oleh Ahmad Amin adalah Hadits Nabi SAW yang menyatakan :

إنّ كذبًاعليّ ليس كَكَذِبٍ على أَحدٍ ومن كذّب علىّ متعمّدًافايتبوّأْ مقعده من النّار

Bahwa barang siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka”.

Dari Hadits tersebut Ahmad Amin berpendapat bahwa pemalsuan Hadits telah terjadi pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Akan tetapi Ahmad Amin tidak memberikan bukti-bukti, seperti contoh Hadits palsu yang ada pada masa nabi SAW, untuk mendukung dugaannya tentang telah terjadinya pemalsuan Hadits ketika itu. Dan sekalipun Hadits yang ia kemukakan sebagai argumennya tersebut adalah merupakan Hadits Mutawatir, namun karena sandaran pendapatnya hanya kepada pemahaman  (yang tersirat) pada Hadits tersebut, hal itu tidaklah kuat untuk dijadikan dalil bahwa pada zaman Nabi telah terjadi pemalsuan Hadits. Andaikan pada masa Nabi SAW memang telah terjadi pemalsuan Hadits, Hal tersebut tentu akan menjadi berita besar dikalangan para Sahabat, dan ternyata sejarah tidak mencatat adanya peristiwa tersebut. Adapun tentang hal peringatan Nabi SAW sebagaimana tertuang didalam Hadits diatas , kemngkinan sekali dilatar-belakangi oleh kekhawatiran beliau terhadap keberadaan Hadits pada masa yang akan datang setelah beliau wafat

  1. Shalah al-Din al-Adhabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadits yang sifatnya semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi SAW, atau dalam pengertiannya yang pertama mengenai al-wad’u sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dan berhubungan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada zaman Nabi , dan hal itu dilakukan oleh orang munafik. Sedangkan pemalsuan Hadits yang berhubungan dengan masalah agama, atau dengan, atau dalam pengertiannya yang kedua mengenai al-wad’u, belum pernah terjadi pada masa nabi SAW.
  1. Kebanyakan Ulama Hadits berpendapat, bahwa pemalsuan Hadits baru terjadi untuk pertama kalinya adalah setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, yaitu setelah terjadinya perpecahan politik antara kelompok Ali di satu pihak dan Muawiyah dengan pendukungnya di pihak lain, serta kelompok ke tiga, yaitu kelompok Khawarij, yang pada awalanya adalah pengikut Ali, namun ketika Ali menerima tahkim, mereka keluar dari golongan ali, bahkan berbalik menentang kelompok Ali, disamping juga menentang Muawiyah.

Masing-masing kelompok berusaha untuk mendukung kelompok meraka dengan berbagai argumen yang dicari mereka dari Al-Qur’an dan Hadits, dan ketika mereka tidak mendapatkannya, maka mereka pun mulai membuaat Hadits-Hadits palsu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa belum terdapat bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan Hadits pada masa Nabi SAW, demikian juga pada masa-masa Sahabat sebelum pemerintahan Ali ibn Abi Thalib. Hal demikian adalah karena begitu kerasnya peringatan yang diberikan Nabi SAW terhadap mereka yang mencoba untuk melakukan dusta atas nama beliau, yang selanjutnya sangat berpengaruh dan tercermin pada sikap hati-hati yang ditampilkan para Sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar serta yang lainnya, dalam menerima suatu Hadits. Dengan demikian, berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka pemalsuan Hadits baru muncul dan berkembang pada masa pemeerintahan Ali, yaitu setelah terjadinya pertentangan politik yang membawa kepada perpecahan dan terbentuknya kelompok-kelompok, seoerti Syi`ah, Khawarij, dan lainnya.

  1. C.   Status periwayatan Hadits Maudhu’

Pembahasan tentang status maudhu’ ini mencakup 5 topik berikut ini :

  1. 1.      Status perbuatan membuat-buat hadits
  2. Dilarang secara mutlak (jumhur ulama)
  3. Dibolehkan, dengan syarat atas dasar kepentingan karena Allah (sebagian ulama, diantaranya Abu Ismah Nuh ibn Abi Maryam dan Maisarah ibn Abdi Rabih)
  4. Dibolehkan, dengan syarat jika kandungannya hanya terbatas pada pemberian berita baik dan pemberian berita buruk
  1. 2.      Status berdusta terhadap Rasulullah

Jumhur ulama berpendapat bahwa berbuat dusta terhadap Nabi SAW secara sengaja termasuk dosa besar. Oleh karena itulah Nabi memberikan ancaman keras kepada setiap orang yang berdusta terhadap dirinya. Hal ini menunjukan bahwa dalam bentuk dan keadaan bagaimanapun, berbuat dusta terhadap Rasulullah adalah dilarang.

  1. Status “Pendusta” terhadap Rasullah

Jumhur ulama sepakat bahwa pendusta terhadap Nabi SAW secara sengaja adalah pembuat dosa besar. Sebagaimana yang telah ditunjukan sendiri oleh Nabi mengenai sanksi dan ancaman yang berat bagi pendusta terhadap dirinya.

Mengenai bentuk sangsi ini, para ulama berbeda pendapat. Ayah Imam Harramain dan muridnya menetapkan bahwa pembuat dusta terhadap Nabi Muhamad SAW adalah kafir.

Dalam mengatasi kedua pendapat ini, Umar Hasan Fatallah membagi pada 2 kategori berikut :

  1. jika pendusta tersebut mengakui bahwa perbuatan dustanya itu dilarang dan ia tidak menghalalkan perbuatan dustanya, berarti dia hanya menjadi seorang fasik dan wajib mendapat sangsi ancaman perbuatan dusta terhadap nabi.
  2. Jika dia sengaja berbuat dusta, dan menghalalkan perbuatannya itu, maka dia menjadi kafir, meskipun dia meyakini keharaman perbuatan itu.
  1. Status riwayat hadits maudhu’

Ada 2 kemungkinan keadaan perawi ketika ia meriwayatkan hadits maudhu. Pertama, dia tidak mengetahui bahwa hadis itu adalah maudhu’. Kedua, dia mengetahui bahwa hadis itu maudhu.

Perawi yang meriwayatkan hadis maudhu, tetapi tidak mengetahui bahwa hadis itu maudhu, dia tidak berdosa. Akan tetapi jika pada saat meriwayatkan itu, dia mengetahui bahwa hadis itu maudhu, para muhadissin membagi pada beberapa kemungkinan.

  1. Jika pada saat meriwayatkan itu, dia bertujuan untuk menjelaskan jarh dan ta`dil nya syahit riwayatnya, para muhadissin sepakat untuk membolehkan periwayatan demikian, bahkan dianggap berpahala, karena hal itu membantu menolak kemudharatan yang lebih besar.
  2. Namun, jika tidak, dilarang meriwayatkan hadis maudhu secara mutlak, apapun bentuk isi matan nya, baik aqidah, hukum, maupun fadhail al `amal. Orang inilah yang disebut sebagai “pembuat hadits maudhu”
  3. Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam An-Nawawi, dan Qadhi Iyadh melarang secara mutlak meriwayatkan hadits-hadits maudhu’
  1. Status pengamalan hadits maudhu’

Para muhaddisin sepakat bahwa hadits maudhu tidak dapat diamalkan dan tidak dapat dijadikan pedoman hujjah secara mutlak.

  1. D.   Faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya Hadits Maudhu`

Data sejarah menunjukan bahwa pemalsuan Hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Banyak motif yang mendorong pembuatan Hadits Maudhu’, diantaranya adalah:

  1. a.      Motif politik

Seperti yang telah dijelaskan dimuka, bahwa setelah `Utsman ibn Affan wafat, timbullah perpecahan dikalangan umat Islam. Perpecahan tertsebut berlanjut dengan lahirnya kelompok-kelompok pendukung masing-masing pihak yang berseteru, seperti kelompok pendukung `Ali ibn Abi Thalib, pendukung Mu`awiyyah ibn Abi Sofyan, dan kelompok ketiga, yaitu kelompok Khawarij, yang muncul setelah terjadinya perang Siffin, yaitu antara kelompok Ali dan kelompo Mu`awiyyah.

Perpecahan yang bermotifkan politik ini mendorong masing-masing kelompok berusaha untuk memenangkan kelompoknya dan menjatuhkan kelompok lawan. Dalam upaya mendukung kelompok mereka masing-masing serta menarik perhatian umat agar berpihak kepada mereka, dalam melakukan kampanya politik, mencari argumen-argumen dari Al-Qur`an dan Hadits. Akan tetapi, tatkala mereka tidak menemukan argumen yang mereka butuhkan didalam kedua sumber tersebut, maka mereka mulai menciptakan Hadits-Hadits palsu yang kemudian disandarkan kepada Nabi SAW. Perpecahan politik ini merupakan sebab utama terjadinya pemalsuan Hadits. Dari tiga kelompok diatas, maka kelompok Syi`ahlah yang pertama melakukan pemalsuan Hadits.

Diantara Hadits-Hadits yang dibuat oleh kelompok Syi`ah adalah:

عليّ خيرالبشَرمن شكّ فيه كفرَ

            Ali adalah sebaik-baik manusia. Maka siapa yang meragukannya adalah kafir.

Sebaliknya, kelompok yang mendukung Mu`awiyyah, sebagi lawan dari kelompok Ali, dalam rangka memberikan dukungan dan untuk kepentingan politik Mu`awiyyah, juga mencptakan Hadits-Hadits palsu yang mereka sandarkan kepada Nabi SAW. Di antaranya adalah pernyataan berikut :

الأمنا ءعنداللهِ ثلاثة : انا وجبريل ومعاوية

Orang yang terpercaya itu ada tiga, yaitu: saya (Rasul), Jibril, dan Muawwiyyah.

  1. b.      Usaha dari musuh Islam (Kaum Zindiq)

Kaum Zindiq adalah kelompok yang membenci Islam, baik sebagai agama maupun sebagai suatu kedaulatan / pemerinthan. Menyadari akan ketidak mampuan mereka dalam berkonfrontasi dengan umat Islam secara nyata (terang-terangan), maka mereka berupaya untuk menghancurkan Islam melalui tindakan merusak agama dan menyesatkan umat dengan cara membuat Hadits-Hadits palsu dalam bidang-bidang akidah, ibadah, hukum, dan sebagainya. Diantara mereka adalah :

  1. Muhammad ibn Sa`id al-Syami

Yang mati disalib karena terbukti sebagai Zindiq. Ia meriwayatkan hadits, yang menurutnya berasal dari Humaid dari Anas dari Nabi SAW yang mengatakan:

أناخاتَم النبيّين لانبِيّ بعدِي إلاّ أنْ يَشاء الله

Saya adalah penutup Nabi, tidak ada Nabi lagi sesudahku kecuali apabila dikehendaki Allah.[1]

  1. Abd al-Karim ibn Abu al-`Auja

Dia mengakui sendiri sendiri perbuatannya memalsukan Hadits sebanyak 4.000 Hadits yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Pengakuannya tersebut diikrarkan dihadapan Muhammad ibn Sulaiman, wali kota Basrah, ketika Ibn Abu al-`Auja sudah berada ditiang gantung untuk dibunuh.

Menurut Hammad ibn Zaid, bahwa Hadits yang dipalsukan oleh kaum Zindik berjumlah sekitar 12.000 Hadits. Dalam riwayat lain disebutkan berjumlah 14.000 Hadits.

  1. c.       Sikap fanatik buta terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, atau pemimpin

Mereka yang fanatik terhadap bahasa Persia, membuat Hadits yang mendukung keutamaan bahasa Persia. Contohnya:

إنّ كلام الذين حول العرش بالفارِشةِ

Sesungguhnya pembicaraan orang-orang disekitar `arasy adalah dengan bahasa Persia.

Adapun bagi mereka yang fanatik terhadap bahasa Arab juga membuat Hadits yang menunjukan keutamaan bahasa Arab dan mengutuk bahasa Persia. Contohnya:

إنّاللهَ إذاغضِبَ انْزَل الوحيَ بالفَارشةِ, وإذارضِيَ أنزل الوحيَ بِالعربيّة

Sesungguhnya Allah apabila marah Dia turunkan wahyu dengan bahasa Persia, dan apabila Dia senang maka turunlah wahyu dengan bahasa Arab

  1. d.      Pembuat cerita atau kisah-kisah

Para pembuat cerita akan memalsukan Hadits dalam rangka menarik simpati orang banyak atau agar para pendengar kisahnya kagum terhadap kisah yang mereka sampaikan, ataupun juga dalam rangka untuk mendapatkan imbalan materi. Umumnya, Hadits-Hadits yang mereka ciptakan cenderung bersifat berlebihan atau tidak masuk akal. Contohnya:

مَن قال لاإله إلاّالله خلق الله طائرًاله سبعونَ الفِ لسانٍ لكلّ لسانٍ سبعون الفِ لغةٍ يستغفرونَ له

Siapa yang mengucapkan “la ilaaha illa Allah”, maka Allah akan menciptakan seekor burung yang mempunyai 70.000 lidah, dan masing-masing lidah menguasai 70.000 bahasa yang akan memintakan ampunan baginya.

  1. e.       Perbedaan pendapat dalam masalah Fiqh atau Ilmu kalam

Perbuatan ini muncul dari para pengikut suatu mazhab, baik dalam bidang fiqh atau Ilmu Kalam. Mereka menciptakan Hadts-Hadits palsu dalam rangka mendukung atau menguatkan pendapat, hasil ijtihad dan pendirian para imam mereka. Diantarana adalah Hadis-Hadits buatan yang mendukung pendirian mazhab tentang tata cara pelaksanaan ibadah shalat, seperti mengangkat tangan ketika rukuk, meyaringkan bacaan “bismillah” ketika mambaca Al-Fatihah dalam bidang fiqh, atau mengenai sifat makhluk bagi Al-Qur`an dalam bidang Ilmu Kalam, dan lain-lain. Umpamanya:

المضمَضَة والإستِنشَا ق للجنبِ ثَلاَ ثةً فريضَة

Berkumur-kumur dan menghirup air kehidung masing-masing 3 kali, adalah wajib bagi orang yang berjunub.

أَمَّنِي جبرِيل عندالكعبةِ فجَهّرَ بِ (بسم الله الرحمن الرحيم)

Jibril telah mengimami aku (ketika shalat) di Ka`bah, maka dia menjarahkan (membaca dengan keras), Bismillahirrahmanirrahim.

Siapa yang mengatakan Al-qur`an adalah makhluk, maka dia telah menjadi kafir.

  1. f.        Semangat yang berlebihan dalam beribadah tanpa didasari ilmu pengetahuan

Dikalangan orang zuhud atau para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat hadist-hadist yang bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib), atau bersifat mengancam agar tidak melakukan tindakan yang tidak benar(targhib), dalam rangka ber-taqarrub kepada allah, adalah diperbolehkan. Mereka ini, apabila diperingatkan akan ancaman Rasul SAW bahwa tindakan berdusta atas nama beliau akan menyebabkan pelakunya masuk neraka, maka mereka akan menjawab bahwa mereka berdusta bukan untuk keburukan, melainkan untuk kebaikan.

Atas dasar motivasi diatas, mereka banyak membuat hadis-hadis Mawdhu’, terutama yang berhubungan dengan keutamaan surat-surat yang terdapat didalam al-Qur’an. Abu ishmah Nuh ibn Abi Maryam, salah seorang pemalsu hadis dari kelompok ini, mengaku bahwa dia telah memalsukan hadis dengan alasan untuk menarik minat umat kembali kepada al-Qur’an, karena dia melihat telah banyak orng yang berpaling dari al-Qur’an, tetapi sebaliknya, mereka sibuk dengan Fiqh Abu Hanifah dan Maghaji Ibn Ishak. Salah satu Hadis Mawdhu’ dengan motif ini adalah:

مَن قرأ يس فِى ليلةٍ أصبح مغفورًاله وقرأ الدّخان ليلةً أصبح مغفورًالهُ

Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari, maka pada pagi harinya dia telah diampuni dari segala dosanya, dan siapa yang membaca surat Al-Dukhan pada malam hari, pada subuhnyanya dia telah diampuni dari dosa-dosanya.

  1. g.      Mendekatkan diri kepada para penguasa

Diantara para pemalsu Hadits tersebut, ada yang sengaja membuat Hadits unutk mendapatkan simpati atau penghargaan dari para khalifah atau pejabat pemerintahan yang sedang berkuasa ketika itu. Umpamanya, adalah Ghayats ibn Ibrahim, yang ketika memasuki istana khalifah Al-Mahdi, dilihatnya Al-Mahdi sedang melaga burung merpati, maka Ghayats berkata, “Nabi bersabda….”.

لا سَبَقَ إلاّ فى نصلٍ أَو خُفٍّ أو حافرٍ, فزَاد فيه ( أو جَناحَ )

Tidak ada perlombaan kecuali dalam memanah, balapan unta, pacuan kuda, maka Ghayats menambahkan, “Atau burung merpati.”

Dalam hal ini, hayats telah menambahkan kata Janah terhadap Hadits yang datang dari Nabi SAW tersebut. Menyadari akan perbuatan Ghayats tersebut, Al-Mahdi akhirnya memerintahkan untuk menyembelih merpati tersebut, setelah terlebih dahulu memberi Ghayats hadiah sejumlah 10.000 dirham.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa ada diantara pemalsu hadits tersebut yang dengan sengaja menciptakan Hadits palsu dengan keyakinan gahwa tindakannya itu diperbolehkan, dan ada pula yang tidak tahu tentang status pekerjaannya itu. Ada diantara mereka yang mempunyai tujuan negatif, dan ada pula yang memandang positif. Akan tetapi, “apapun alasan dan motif mereka, perbuatan memalsukan Hadits tersebut adalah tercela dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan sabda Rasul SAW yang mencela perbuatan bohong atas nama beliau”.

Bentuk-bentuk pemalsuan Hadits sebagaimana yang telah disebutkan diatas, menurut Azami adalah termasuk kedalam kelompok pemalsuan Hadits dalam bentuk yang pertama, yaitu yang dilakukan secara sengaja (Intentional fabrication of Hadith) yang umum disebut sebagai Hadits Maudhu`. Sedangkan pemalsuan Hadits dalam bentuk yang kedua yaitu penyandaran sesuatu yang bukan Hadits yang dilakukan secara keliru kepada Nabi SAW, namun dilakukan tidak dengan sengaja (Unintentional fabrication of Hadit) seperti karena kelalaian dan kekurang hati-hatian, disebut oleh Azami sebagai Hadits Bathil.

 

  1. E.   Ancaman Bagi yang Pembuat Hadits Maudhu’

Orang yang berdusta atas nama Rasulullah ancamannya sangat keras. sebagaimana Nabi bersabda:

“Barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia bersiap-siap menempati tempatnya dineraka.”

Hadits ini diriwayatkan secara mutawatir, yaitu diriwayatkan 70 orang shahabat. Dalam riwayat Al Bukhari tidak terdapat  kata “dengan sengaja”. Namun dalam riwayat Ibnu Hibban terdapat kata  ini. Adapun  perintah yang juga berarti kabar (berita), ancaman, penghinaan atau do’a atas pelakunya. Yaitu semoga Allah menyiapkan untuknya (nereka). Syaikh Muhammad Abu Al Juwaini, berpendapat bahwa kafir bagi orang yang memalsukan hadits Rasulullah dan dengan sengaja dan mengetahui (hukum berkenaan) dengan yang ia ada-adakan.

  1. F.    Ciri-ciri atau tanda-tanda Hadits Maudhu`

Ciri-ciri kepalsuan sesuatu Hadits dapat dilihat pada sanadnya dan juga kepada matan-nya.

a. Ciri-ciri yang terdapat pada sanad

1)      Pengakuan si pemalsu Hadits itu sendiri bahwa dia telah memalsukan Hadits.

2)      Kenyataan sejarah atau qarinah yang menunjukan bahwa perawi tidak bertemu dengan orang yang diakuinya sebagai gurunya

3)      Keadaan (qarinah) pada perawi. Suatu Hadits dapat diketahui kepalsuannya dengan melihat si perawi

4)      Perawi tersebut dikenal sebagai seorang pendusta, sementara Hadits yang diriwayatkannya itu tidak pula diriwayatkan oleh seorang perawi lain yang dipercaya.

b. Ciri-ciri yang terdapat pada matan

1)      Terdapat keracunan pada matan Hadits yang diriwayatkan, yang apabila lafadz tersebut dibaca oleh seorang ahli bahasa ia akan segera mengetahui bahwa Hadits tersebut adalah palsu dan bukan berasal dari Nabi SAW. Hal tersebut adalah jika si perawi menyatakan bahwa Hadits yang diriwayatkan itu lafadznya berasal dari nabi SAW.

2)      Maknanya rusak dan tidak dapat diterima akal sehat bahwa Hadits tersebut berasal dari Nabi SAW, seperti Hadits :

من التخذَ ديكًاأبيض لم يَقرَبهُ شيطا نٌ ولا سِحرٌ

Siapa yang mengambil ayam jantan putih, dia tidak akan didekati (dikenai) oleh setan dan sihir.

البا ذِنجَا نُ شِفا ءٌ من كلِّ دَاءٍ

Terong adalah obat untuk segala penyakit.

3)      Bertentangan dengan nash Al-Qur`an, Hadits Mutawatir, atau Ijma`, seperti:

ولدالزنا لا يدخلُ الجنّة إلى سبعة أ بنا ءٍ

      Anak zina tidak akan masuk kedalam surga sampai 7 turunan.

Hadits ini bertentangan dengan nash Al-Qur`an QS Al-An`am:164 yang menyatakan :

ولا تُزِرُ وا زِرَةٌ وِزرَ أُخرى

Dan seorang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

4)      Hadits yang mendakwa para Sahabat sepakat untuk menyembunyikan sesuatu pernyataan Rasul SAW, seperti riwayat tentang Rasul SAW memegang tangan Ali RA dihadapan para Sahabat, kemudian beliau bersabda :

هذاوصِيِّى وأخى والخليفةُ من بعدى

      Ini adalah penerima wasiatku, saudaraku dan khalifah sesudahku.

Kemudian para Sahabat, menurut dakwaan kelompok yang memalsukan Hadits tersebut, bersepakat untuk menyembunyikan dan mengubah Hadits tersebut.

5)      Hadits yang menyalahi fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW, seperti Hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW menetapkan jizyah atas penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh Sa`d ibn Mu`az. Sa`d sendiri, menurut keterangan sejarah, telah meninggal sebelum peristiwa tersebut, yaitu pada peristiwa perang Khandaq, dan penetapan jizyah baru ditetapkan Nabi pada perang Tabuk terhadap orang-orang Nasrani di Bahrain dan Yahudi di  baru ditetapkan Nabi pada perang Tabuk terhadap orang-orang Nasrani di Bahrain dan Yahudi di Yaman.

6)      Hadits yang menerangkan pahala yang besar terhadap perbuatan kecil, atau sebaliknya siksaan yang sangat berat atas kesalahan yang kecil. Biasanya Hadits-Hadits ini terdapat pada kisah/ cerita-cerita, seperti berikut :

مَن قال لاإله إلاّالله خلق الله طائرًاله سبعونَ ألفِ لسانٍ لكلّ لسانٍ سبعون ألفِ لغة يستغفرونَ له  

Siapa yang mengucapkan “la ilaaha illa Allah”, maka Allah akan menciptakan seekor burung yang mempunyai 70.000 lidah, dan masing-masing lidah menguasai 70.000 bahasa yang akan memintakan ampunan baginya.

7)      Matan Hadits tersebut sejalan atau mendukung mazhab perawinya, sementara perawi tersebut terkenal sebagai orang yang fanatik terhadap mazhabnya.

8)      Suatu riwayat mengenai peristiwa besar yang terjadi dihadapan umum yang semestinya diriwayatkan oleh banyak orang, akan tetapi ternyata hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Umpamanya riwayat tentang pengepungan yang dilakukan musuh terhadap orang banyak yang sedang melakukan ibadah haji di Baitullah.

Demikianlah beberapa kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama Hadits unutk mengetahui dan mengenali Hadits Maudhu’.

  1. G.  Upaya penanggulangan Hadits Maudhu`

Dalam upaya menanggulangi Hadits-Hadits Maudhu`  agar tidak berkembang dan semakin meluas, serta agar terpeliharanya Hadits-Hadits Nabi SAW dari tercampur dengan yang bukan Hadits, para ulama Hadits telah merumuskan langkah-langkah yang dapat mengantisipasi problema Hadits Maudhu` ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut :

  1. 1.      Memelihara sanad Hadits
  2. 2.      Meningkatkan kesungguhan dalam meneliti Hadits
  3. 3.      Menyelidiki dan membasmi kebohongan yang dilakukan terhadap Hadits
  4. 4.      Menerangkan keadaan para perawi
  5. 5.      Membuat kaidah-kaidah untuk menentukan Hadits

 

  1. H.  Kitab-kitab Referensi Hadits Maudhu`

Para ulama telah merupaya mengumpulkan hadits-hadits palsu supaya kaum muslimin selamat dari makar pembuatnya, di antara kitab-kitab tersebut yaitu:

  1. Al Madhu’at, karangan Ibnu Al Jauzi.
  2. Al La’ali Al Mashnu’ah fi Al Ahadits Al Maudhu’ah, karya As Suyuthi, ringkasan kitab diatas.
  3. Tanzihu Ay Syri’ah Al Marfu’ah ‘an Al Ahadits Asy Syani’ah Al Maudhu’ah karya Ibnu ‘Iraqi Al Kittani, ringkasan kedua kitab diatas.

BAB III

PENUTUP

  1. A.   Simpulan

Dari pembahasan diatas kita dapat mengetahui segala problematika Hadits Maudhu. Entah itu dari segi sejarahnya, pendevinisiannya, status Hadits tersebut, faktor yang melatarbelakangi pembuatan Hadits Maudhu tersebut, ancaman-ancaman bagi pembuat Haditsnya, serta bagaimana cara penanggulangannya.

  1. B.   Saran

Dengan memohon pertolongan Allah, bersama-sama kita meningkatkan iman dan ilmiah ummat berpatok pada pemahaman salafush shalih, menggalang ukhuwah bersama seluruh thalibul ilmi dan du’at penyeru kepada ummat, bersama seluruh golongan dan pergerakan yang haq, merajut al-wala hingga menjadi bangunan yang kokoh saling menguatkan, dan inilah seruan kami:

  1. Seruan untuk hijrah kepada Allah dengan memurnikan tauhid dan mencampakkan kesyirikan serta hijrah kepada Rasul-Nya dengan mengikuti sunnahnya.
  2. Seruan untuk berwala kepada iman dan muslimin serta baro’ dari syirik dan musyrikin.


[1] Diterangkan oleh Al-Hakim, bahwa dia membuat pengecualian ini adalah untuk mengajak manusia mengakui kenabiannya.

Tinggalkan komentar